Tahun 2007, Aceh Jadi Cyber Province Pertama di Indonesia
Banda Aceh, 18 Jan 2006 - Badan Pelaksana BRR NAD–Nias akan membangun infrastruktur jaringan internet tanpa kabel (wireless) di 23 kota di kedua daerah itu. Program yang dimulai pertengahan tahun ini ditargetkan selesai awal 2007 sehingga Aceh menjadi cyber province pertama di Indonesia.
Juru bicara BRR, Mirza Keumala, mengatakan, pembangunan internet tanpa kabel ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi dalam waktu singkat, terutama yang terkait proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias.
Masyarakat juga diharapkan bisa ikut berperan aktif memberi informasi sekaligus mengawasi kinerja semua pihak yang terlibat dalam kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi di kedua daerah ini. “Diharapkan akan mendorong terciptanya transparansi informasi kepada publik, ” katanya.
Selain itu, tambah Mirza, koneksi internet juga sekaligus mengganti infrastruktur telekomunikasi konvensional yang rusak akibat bencana. Lagi pula, kata dia, komunikasi konvensional cukup mahal sehingga membatasi kebutuhan koordinasi, sementara intensitasnya cenderung meningkat seiring percepatan rekonstruksi dan rehabilitasi bencana.
Di lingkungan pemerintahan, diharapkan dapat mendorong pelayanan publik yang lebih baik sekaligus menciptakan good governance berbasis teknologi informasi. “Dengan adanya fasilitas ini, akhir 2006 Aceh akan menjadi provinsi cyber dan itu yang pertama di Indonesia,” kata Mirza.
Dari sisi pengembangan masyarakat (community development), fasilitas ini juga dapat digunakan untuk merangsang percepatan pertumbuhan ekonomi, penyebaran ilmu dan teknologi serta peningkatan mutu pendidikan.
”Ini akan sinergis dengan peningkatan mutu pendidikan. Kita harapkan akan ada percepatan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan generasi muda, khususnya dunia pendidikan dengan adanya metode pendidikan baru yang lebih efisien,” ujarnya.
Mirza tidak menampik kemungkinan dampak negatif akibat akses informasi tak terbatas. Namun, kata dia, distorsi informasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab melalui internet dapat dicegah melalui teknologi filtering. Selain itu, juga akan dilakukan sosialisasi agar masyarakat mampu memilah informasi yang didapatkan bermanfaat atau tidak.
Jaringan internet tanpa kabel ini menggunakan Very Small Apperture Terminal (VSAT) Single Carrier Per Channel (SCPC) sebagai jaringan tulang punggung. Selain bisa menjangkau seluruh area di Aceh dan Nias, investasi yang dibutuhkan lebih murah dibandingkan infrastruktur telekomunikasi konvensional.
Sedangkan untuk distribusi domestik di tingkat lokal menggunakan Wifi (wireless fidelity) yang bekerja di frekwensi 2.4 Ghz. Frekuensi ini bebas lisensi sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005.
”Wifi adalah standar teknologi dunia yang berkualitas dan mampu menjangkau hingga radius 5 kilometer. Wifi juga terbukti handal saat diterapkan di wilayah bencana yang fasilitasnya serba terbatas, ” tambah Mirza.
Untuk membangun sistem Internet Wireless Local Loop dibutuhkan lebih dari 125 orang dengan prioritas tenaga lokal dalam pengoperasiannya. Kepada mereka akan diberikan pelatihan. Setelah masa tugas BRR berakhir pada 2009, pengelolaannya diserahkan kepada Pemda NAD.
Saat ini, diperkirakan jumlah pengguna Internet di Aceh dan Nias mencapai 100 ribu orang. Jika program ini selesai dibangun, maka jumlah itu diperkirakan akan meningkat hingga mencapai 500 ribu pengguna.
Distribusi Internet di Aceh
PADA saat akan membangun sebuah jaringan baru selalu kita harus memilih. Apakah akan menggunakan kabel atau menggunakan teknologi nirkabel (wireless). Kabel unggul dalam stabilitas dan lebar pita, sedangkan wireless lebih mudah untuk diimplementasikan. Jika memungkinkan, tentu kita akan memilih kabel. Namun, melihat kondisi Aceh pascatsunami, mungkinkah kita menggelar kabel sebagai sarana infrastruktur kota?
TIDAK mudah memang untuk membangun infrastruktur telekomunikasi data di Aceh. Sepanjang pantai barat, puing-puing berserakan. Jaringan telekomunikasi sebagian besar rusak. Telkom sebagai perusahaan yang memiliki kabel ini mengubah strateginya dengan mengembangkan telepon tanpa kabel (Telkom Flexi) sebagai media utama telepon. Hampir tidak mungkin kita membayangkan melakukan investasi ulang dengan menggelar kabel.
Salah satu solusi yang mungkin dilakukan adalah menggunakan wireless internet, teknologi distribusi jaringan tanpa kabel. Teknologi yang umum digunakan adalah Wireless LAN 2,4 GHz. Namun, teknologi ini mempunyai kendala jangkauan dan besarnya arus data yang bisa dilewatkan. Teknologi Wireless 2,4 GHz hanya mampu bekerja dengan beban maksimal 10 mbps (mega bit per second).
Untuk dapat menangani keseluruhan kota Banda Aceh, dibutuhkan solusi yang lebih stabil dan memiliki lebar pita lebih besar. Intel Corporation sebagai donatur proyek Aceh Telco Relief memilih menggunakan Wireless Broadband Access (WBA) BreezeACCESS VL produksi Alvarion, yang bekerja pada frekuensi 5,25-5,35 GHz dan 5,725-5,850 GHz. Penggunaan frekuensi ini akan lebih terjamin karena tidak terkena interferensi dari perangkat 2,4 GHz yang sudah banyak dan bisa digunakan dengan bebas. Selain itu, solusi WBA ini juga mendukung keadaan yang non-line of sight.
Perangkat WBA ini menggunakan teknologi Orthogonal Frequency-Division Multiplexing (OFDM), memiliki lebar pita 27 mbps, dan mampu menjangkau jarak sampai dengan 15 kilometer. Dengan membangun tiga atau empat base station di Banda Aceh, jaringan wireless sudah dapat menjangkau seluruh kota Banda Aceh, sedangkan untuk kota lain seperti Calang dan Meulaboh dibutuhkan hanya satu base station.
Semua base station terhubung langsung dengan titik terminasi serat optik di pantai Banda Aceh. Masing-masing base station dihubungkan dengan interbase backhaul yang redundan sehingga jika pada salah satu jalur terjadi kerusakan, base station tersebut masih dapat bekerja dengan menggunakan jalur cadangan.
DI setiap base station akan dipasang perangkat router yang berfungsi sebagai pengatur bandwidth, dan juga sebagai firewall. Untuk pengaturan routing digunakan sistem Border Gateway Protocol (BGP) sehingga pengaturan routing bisa berjalan secara dinamis dan otomatis. Proses penggantian jalur yang disebabkan oleh adanya kerusakan salah satu transmisi sehingga dilewatkan jalur yang lainnya juga dapat berjalan secara otomatis.
Selain base station, Intel Corporation juga menyiapkan 50 unit CPE (Client Premises Unit, unit yang dipasang pada tempat pelanggan) yang akan dipasang di lokasi-lokasi yang membutuhkan, seperti gedung pemerintahan, sekolah, LSM, dan kampus. Jika diambil rata-rata jumlah CPE per base station, maka bandwidth yang tersalurkan ke tiap CPE adalah lebih dari 2 mbps. Bandwidth yang diterima CPE didistribusikan lagi ke jaringan kabel yang terhubung ke sejumlah komputer.
Wireless yang umum digunakan pada komputer ataupun laptop adalah Wireless LAN 2,4 GHz. Untuk memungkinkan komputer dan laptop bisa terkoneksi ke jaringan ini, perlu ditambah satu unit access point pada setiap titik distribusi. Bisa dibayangkan, di Aceh akan tersedia sekitar 50 titik hotspot.
Jika sistem ini bisa bekerja dengan baik, maka bisa kita bayangkan, Aceh di masa mendatang akan menjadi daerah dengan jaringan telekomunikasi yang baik, lebih baik dari kota-kota lainnya di Indonesia. Sistem e-government bisa berjalan dengan mulus, sekolah-sekolah bisa menjalankan e-learning. Pertumbuhan bisnis pun akan terdongkrak dengan adanya transaksi online.
UNTUK pelaksanaan pemasangan dan pemeliharaan ini, Intel Corporation bekerja sama dengan Yayasan Airputih, yang tim teknisnya telah membantu pemulihan infrastruktur telekomunikasi data dan berada di Aceh sejak tanggal 30 Desember 2004. Tim teknis ini bersifat relawan dan hingga kini masih berada di Banda Aceh dan beberapa kota lain di pesisir barat Provinsi Aceh.
Selama satu tahun, Yayasan Airputih akan mengoperasikan dan memelihara jaringan wireless ini, sebelum diserahterimakan kepada orang lokal Aceh yang juga akan dibekali kemampuan teknis.
Secara teknis, bantuan dari Intel Corporation dalam bentuk WBA ini telah siap untuk mulai dibangun dalam waktu singkat. Namun, sebelum mulai dipasang, ada beberapa kendala regulasi yang harus dihadapi.
Berdasarkan peraturan pemerintah, penggunaan perangkat WBA yang bekerja di frekuensi 5 GHz membutuhkan izin frekuensi yang hanya bisa didapatkan oleh operator telekomunikasi. Selain itu, pengguna juga dikenai biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang harus dibayarkan per tahun. Selain itu, bea masuk perangkat dan bea impor lain bisa mencapai 30 persen dari harga perangkat.
Hal regulasi ini bisa menjadi masalah jika pemerintah bersikap tidak mau tahu dan memberlakukan prosedur perizinan standar. Yayasan Airputih sebagai pihak yang melakukan implementasi proyek ini tidak mempunyai cukup dana untuk membayar semua bea dan biaya proses perizinan tersebut.
Proses-proses perizinan tersebut bisa diminimalkan dengan menganggap bahwa proyek Aceh Telco Relief ini adalah sebuah proyek telekomunikasi khusus sehingga bisa diberlakukan perlakuan khusus. Jangan sampai hanya karena masalah regulasi, hibah dalam bentuk WBA senilai 1 juta dollar AS akan batal dilakukan.
Bea Cukai 'Hambat' Internet Darurat Aceh
Kebutuhan akan perangkat tambahan bagi upaya pembangunan koneksi internet darurat di Aceh disampaikan oleh Salahuddien. Bersama tim dari komunitas teknologi informasi, Salahuddien saat ini berusaha menyediakan koneksi internet di Aceh.
Menurut Salahuddien, persediaan perangkat yang dibutuhkan saat ini menipis. Sedangkan perangkat baru dari luar negeri nampaknya sulit memasuki Indonesia. "Kita dapat komitmen bantuan perangkat wireless dari Singapura, Malaysia, India dan Korea tapi semua susah masuk ke Indonesia," ia memaparkan.
Menurut sumber detikcom, kesulitan tersebut kemungkinan terjadi karena ada 'hambatan' di Bea Cukai. Hambatan yang dimaksud berupa status red light bagi barang impor yang ditetapkan bea cukai.
Sumber tersebut menuturkan, beberapa jenis perangkat komputer yang masuk dari luar negeri sebenarnya dikenakan PPnBM (pajak penjualan barang mewah). Namun, untuk menghindari pajak barang mewah yang mahal, barang-barang tersebut dikamuflase menjadi komponen elektronik yang bebas PPnBM.
Praktek seperti itu, ujar sumber tersebut, adalah hasil 'kesepakatan' antara Bea Cukai dan pemasok barang. "Kalau nggak begitu, kamu nggak akan bisa menjumpai komputer p4 (pentium IV -red.) dengan harga di bawah Rp 3 juta," ia menuturkan.
Setiap tahun, selama tiga atau empat kali, Bea Cukai akan menetapkan periode red light. Masih menurut sumber tersebut, periode ini merupakan operasi resmi bea cukai. "Pada masa ini, mereka sepakat dengan vendor dan pemasok untuk meng-hold (menahan -red.) barang sampai operasi tersebut berakhir, nanti mereka akan lanjutkan lagi seperti biasa," ia memaparkan.
Namun, sejak dua bulan terakhir, periode lampu merah ini tidak juga dihentikan. Akibatnya, banyak perangkat komputer yang terhambat di bea cukai.
Hal itu yang diperkirakan menyebabkan langkanya ketersediaan perangkat komputer tertentu di pasaran. Hal itu juga yang diperkirakan membuat kiriman bantuan perangkat dari luar negeri sulit masuk Indonesia.
Perangkat yang saat ini masih dibutuhkan oleh tim koneksi darurat di Aceh mencakup perangkat VSAT, HDSL dan perangkat untuk koneksi nirkabel. Selain itu tim juga membutuhkan generator listrik dan notebook.
Situs 'Penguasa' Internet Dibobol
Seperti dikutip detikINET dari The Register, Senin (30/6/2008), situs kedua lembaga itu dibajak pihak tak dikenal pada Jumat (27/6/2008). Selama kurang lebih 20 menit, situs kedua lembaga itu dialihkan ke situs lain yang menampilkan pesan berikut: "You think that you control the domains but you don't! Everybody knows wrong. We control the domains including ICANN! Don't you believe us?"
Zone-H.org, situs yang mencatat aksi deface di internet, menyebut aksi itu dilakukan oleh kelompok bernama 'NetDevilz'. Kelompok itu diduga berasal dari Turki.
Situs yang diserang termasuk icann.com, icann.net, iana.com dan iana-servers.com. Kelompok itu, menurut Zone-H, mengubah data DNS pada semua situs itu.
Tidak diketahui metode apa yang digunakan dalam aksi tersebut. Namun Zone-H berspekulasi mereka memanfaatkan metode cross-site scripting (XSS).
Internet Di Banda Aceh
Tiga bulan pasca tsunami di Aceh sangat sulit untuk mendapatkan akses internet. Kalo sekarang? mendapatkan akses internet dari satu kantor ke kantor lain di Banda Aceh bukanlah hal yang sulit.
Salah satu faktor penyebab internet berkembang dengan cepat di Banda Aceh karena banyaknya NGO asing.. Tau sendiri lah, kalo sebagian besar NGO asing tentunya terbiasa bekerja dengan email dan instant messenger.
Sekitar 3 hari yang lalu bersama dengan Anjar saya iseng-iseng melakukan scanning Wireless 2.4 GHz dengan menggunakan NetStumbler.
Coba lihat gambar dibawah ini:
Itu baru sebagian kecil wilayah yang terdeteksi, kemungkinan besar hotspot ini akan bertambah banyak jika mendatangi lokasi kantor NGO asing. Bisa dibayangkan gak? Banda Aceh itu cuma kota kecil yang memiliki luas kurang lebih 61,36 km² namun saat ini banyak sekali hotspot yang saling berdekatan. Tentunya ini bisa menimbulkan masalah baru. Coba aja liat gambar diatas ada berapa channel yang sama?
Sepertinya pembebasan lisensi penggunaan radio pada frekwensi 2.4 GHz mengakibatkan siapapun dapat menggunakannya dan sering sekali disisi pengguna tidak menyadari bahwa channel pada frekwensi 2.4 GHz itu sangatlah terbatas. Akibatnya ya seperti terlihat pada gambar di atas itu. Salah satu contoh konkret yang saya dengar langsung yaitu BPDE sebagai salah satu lembaga pemerintahan di Banda Aceh yang mengelola internet pun mengeluh karena kecilnya signal point to point dari Pendopo ke Kantor BPDE, padahal jarak dari Pendopo ke Kantor BPDE kurang lebih hanya 4-6 km LOS (Line Of Sight).
Nah, kalo udah terlalu crowded begini sepertinya memang perlu ada sebuah komunitas pengguna 2.4 GHz di Banda Aceh. Perlu ada kesepakatan-kesepakatan penggunaan channel, daya pancar dan lain-lain. AirPutih bersama beberapa NGO lokal dan NGO asing membuat sebuah komunitas yang bertujuan untuk itu, namun memang belum semua NGO dapat bergabung dalam komunitas ini.