Kamis, 28 Agustus 2008

Internet Di Aceh

Tahun 2007, Aceh Jadi Cyber Province Pertama di Indonesia

Banda Aceh, 18 Jan 2006 - Badan Pelaksana BRR NAD–Nias akan membangun infrastruktur jaringan internet tanpa kabel (wireless) di 23 kota di kedua daerah itu. Program yang dimulai pertengahan tahun ini ditargetkan selesai awal 2007 sehingga Aceh menjadi cyber province pertama di Indonesia.

Juru bicara BRR, Mirza Keumala, mengatakan, pembangunan internet tanpa kabel ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi dalam waktu singkat, terutama yang terkait proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias.

Masyarakat juga diharapkan bisa ikut berperan aktif memberi informasi sekaligus mengawasi kinerja semua pihak yang terlibat dalam kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi di kedua daerah ini. “Diharapkan akan mendorong terciptanya transparansi informasi kepada publik, ” katanya.

Selain itu, tambah Mirza, koneksi internet juga sekaligus mengganti infrastruktur telekomunikasi konvensional yang rusak akibat bencana. Lagi pula, kata dia, komunikasi konvensional cukup mahal sehingga membatasi kebutuhan koordinasi, sementara intensitasnya cenderung meningkat seiring percepatan rekonstruksi dan rehabilitasi bencana.

Di lingkungan pemerintahan, diharapkan dapat mendorong pelayanan publik yang lebih baik sekaligus menciptakan good governance berbasis teknologi informasi. “Dengan adanya fasilitas ini, akhir 2006 Aceh akan menjadi provinsi cyber dan itu yang pertama di Indonesia,” kata Mirza.

Dari sisi pengembangan masyarakat (community development), fasilitas ini juga dapat digunakan untuk merangsang percepatan pertumbuhan ekonomi, penyebaran ilmu dan teknologi serta peningkatan mutu pendidikan.

”Ini akan sinergis dengan peningkatan mutu pendidikan. Kita harapkan akan ada percepatan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan generasi muda, khususnya dunia pendidikan dengan adanya metode pendidikan baru yang lebih efisien,” ujarnya.

Mirza tidak menampik kemungkinan dampak negatif akibat akses informasi tak terbatas. Namun, kata dia, distorsi informasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab melalui internet dapat dicegah melalui teknologi filtering. Selain itu, juga akan dilakukan sosialisasi agar masyarakat mampu memilah informasi yang didapatkan bermanfaat atau tidak.

Jaringan internet tanpa kabel ini menggunakan Very Small Apperture Terminal (VSAT) Single Carrier Per Channel (SCPC) sebagai jaringan tulang punggung. Selain bisa menjangkau seluruh area di Aceh dan Nias, investasi yang dibutuhkan lebih murah dibandingkan infrastruktur telekomunikasi konvensional.

Sedangkan untuk distribusi domestik di tingkat lokal menggunakan Wifi (wireless fidelity) yang bekerja di frekwensi 2.4 Ghz. Frekuensi ini bebas lisensi sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005.

”Wifi adalah standar teknologi dunia yang berkualitas dan mampu menjangkau hingga radius 5 kilometer. Wifi juga terbukti handal saat diterapkan di wilayah bencana yang fasilitasnya serba terbatas, ” tambah Mirza.

Untuk membangun sistem Internet Wireless Local Loop dibutuhkan lebih dari 125 orang dengan prioritas tenaga lokal dalam pengoperasiannya. Kepada mereka akan diberikan pelatihan. Setelah masa tugas BRR berakhir pada 2009, pengelolaannya diserahkan kepada Pemda NAD.

Saat ini, diperkirakan jumlah pengguna Internet di Aceh dan Nias mencapai 100 ribu orang. Jika program ini selesai dibangun, maka jumlah itu diperkirakan akan meningkat hingga mencapai 500 ribu pengguna.




Distribusi Internet di Aceh

PADA saat akan membangun sebuah jaringan baru selalu kita harus memilih. Apakah akan menggunakan kabel atau menggunakan teknologi nirkabel (wireless). Kabel unggul dalam stabilitas dan lebar pita, sedangkan wireless lebih mudah untuk diimplementasikan. Jika memungkinkan, tentu kita akan memilih kabel. Namun, melihat kondisi Aceh pascatsunami, mungkinkah kita menggelar kabel sebagai sarana infrastruktur kota?

TIDAK mudah memang untuk membangun infrastruktur telekomunikasi data di Aceh. Sepanjang pantai barat, puing-puing berserakan. Jaringan telekomunikasi sebagian besar rusak. Telkom sebagai perusahaan yang memiliki kabel ini mengubah strateginya dengan mengembangkan telepon tanpa kabel (Telkom Flexi) sebagai media utama telepon. Hampir tidak mungkin kita membayangkan melakukan investasi ulang dengan menggelar kabel.

Salah satu solusi yang mungkin dilakukan adalah menggunakan wireless internet, teknologi distribusi jaringan tanpa kabel. Teknologi yang umum digunakan adalah Wireless LAN 2,4 GHz. Namun, teknologi ini mempunyai kendala jangkauan dan besarnya arus data yang bisa dilewatkan. Teknologi Wireless 2,4 GHz hanya mampu bekerja dengan beban maksimal 10 mbps (mega bit per second).

Untuk dapat menangani keseluruhan kota Banda Aceh, dibutuhkan solusi yang lebih stabil dan memiliki lebar pita lebih besar. Intel Corporation sebagai donatur proyek Aceh Telco Relief memilih menggunakan Wireless Broadband Access (WBA) BreezeACCESS VL produksi Alvarion, yang bekerja pada frekuensi 5,25-5,35 GHz dan 5,725-5,850 GHz. Penggunaan frekuensi ini akan lebih terjamin karena tidak terkena interferensi dari perangkat 2,4 GHz yang sudah banyak dan bisa digunakan dengan bebas. Selain itu, solusi WBA ini juga mendukung keadaan yang non-line of sight.

Perangkat WBA ini menggunakan teknologi Orthogonal Frequency-Division Multiplexing (OFDM), memiliki lebar pita 27 mbps, dan mampu menjangkau jarak sampai dengan 15 kilometer. Dengan membangun tiga atau empat base station di Banda Aceh, jaringan wireless sudah dapat menjangkau seluruh kota Banda Aceh, sedangkan untuk kota lain seperti Calang dan Meulaboh dibutuhkan hanya satu base station.

Semua base station terhubung langsung dengan titik terminasi serat optik di pantai Banda Aceh. Masing-masing base station dihubungkan dengan interbase backhaul yang redundan sehingga jika pada salah satu jalur terjadi kerusakan, base station tersebut masih dapat bekerja dengan menggunakan jalur cadangan.

DI setiap base station akan dipasang perangkat router yang berfungsi sebagai pengatur bandwidth, dan juga sebagai firewall. Untuk pengaturan routing digunakan sistem Border Gateway Protocol (BGP) sehingga pengaturan routing bisa berjalan secara dinamis dan otomatis. Proses penggantian jalur yang disebabkan oleh adanya kerusakan salah satu transmisi sehingga dilewatkan jalur yang lainnya juga dapat berjalan secara otomatis.

Selain base station, Intel Corporation juga menyiapkan 50 unit CPE (Client Premises Unit, unit yang dipasang pada tempat pelanggan) yang akan dipasang di lokasi-lokasi yang membutuhkan, seperti gedung pemerintahan, sekolah, LSM, dan kampus. Jika diambil rata-rata jumlah CPE per base station, maka bandwidth yang tersalurkan ke tiap CPE adalah lebih dari 2 mbps. Bandwidth yang diterima CPE didistribusikan lagi ke jaringan kabel yang terhubung ke sejumlah komputer.

Wireless yang umum digunakan pada komputer ataupun laptop adalah Wireless LAN 2,4 GHz. Untuk memungkinkan komputer dan laptop bisa terkoneksi ke jaringan ini, perlu ditambah satu unit access point pada setiap titik distribusi. Bisa dibayangkan, di Aceh akan tersedia sekitar 50 titik hotspot.

Jika sistem ini bisa bekerja dengan baik, maka bisa kita bayangkan, Aceh di masa mendatang akan menjadi daerah dengan jaringan telekomunikasi yang baik, lebih baik dari kota-kota lainnya di Indonesia. Sistem e-government bisa berjalan dengan mulus, sekolah-sekolah bisa menjalankan e-learning. Pertumbuhan bisnis pun akan terdongkrak dengan adanya transaksi online.

UNTUK pelaksanaan pemasangan dan pemeliharaan ini, Intel Corporation bekerja sama dengan Yayasan Airputih, yang tim teknisnya telah membantu pemulihan infrastruktur telekomunikasi data dan berada di Aceh sejak tanggal 30 Desember 2004. Tim teknis ini bersifat relawan dan hingga kini masih berada di Banda Aceh dan beberapa kota lain di pesisir barat Provinsi Aceh.

Selama satu tahun, Yayasan Airputih akan mengoperasikan dan memelihara jaringan wireless ini, sebelum diserahterimakan kepada orang lokal Aceh yang juga akan dibekali kemampuan teknis.

Secara teknis, bantuan dari Intel Corporation dalam bentuk WBA ini telah siap untuk mulai dibangun dalam waktu singkat. Namun, sebelum mulai dipasang, ada beberapa kendala regulasi yang harus dihadapi.

Berdasarkan peraturan pemerintah, penggunaan perangkat WBA yang bekerja di frekuensi 5 GHz membutuhkan izin frekuensi yang hanya bisa didapatkan oleh operator telekomunikasi. Selain itu, pengguna juga dikenai biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang harus dibayarkan per tahun. Selain itu, bea masuk perangkat dan bea impor lain bisa mencapai 30 persen dari harga perangkat.

Hal regulasi ini bisa menjadi masalah jika pemerintah bersikap tidak mau tahu dan memberlakukan prosedur perizinan standar. Yayasan Airputih sebagai pihak yang melakukan implementasi proyek ini tidak mempunyai cukup dana untuk membayar semua bea dan biaya proses perizinan tersebut.

Proses-proses perizinan tersebut bisa diminimalkan dengan menganggap bahwa proyek Aceh Telco Relief ini adalah sebuah proyek telekomunikasi khusus sehingga bisa diberlakukan perlakuan khusus. Jangan sampai hanya karena masalah regulasi, hibah dalam bentuk WBA senilai 1 juta dollar AS akan batal dilakukan.

Bea Cukai 'Hambat' Internet Darurat Aceh

Kebutuhan akan perangkat tambahan bagi upaya pembangunan koneksi internet darurat di Aceh disampaikan oleh Salahuddien. Bersama tim dari komunitas teknologi informasi, Salahuddien saat ini berusaha menyediakan koneksi internet di Aceh.

Menurut Salahuddien, persediaan perangkat yang dibutuhkan saat ini menipis. Sedangkan perangkat baru dari luar negeri nampaknya sulit memasuki Indonesia. "Kita dapat komitmen bantuan perangkat wireless dari Singapura, Malaysia, India dan Korea tapi semua susah masuk ke Indonesia," ia memaparkan.

Menurut sumber detikcom, kesulitan tersebut kemungkinan terjadi karena ada 'hambatan' di Bea Cukai. Hambatan yang dimaksud berupa status red light bagi barang impor yang ditetapkan bea cukai.

Sumber tersebut menuturkan, beberapa jenis perangkat komputer yang masuk dari luar negeri sebenarnya dikenakan PPnBM (pajak penjualan barang mewah). Namun, untuk menghindari pajak barang mewah yang mahal, barang-barang tersebut dikamuflase menjadi komponen elektronik yang bebas PPnBM.

Praktek seperti itu, ujar sumber tersebut, adalah hasil 'kesepakatan' antara Bea Cukai dan pemasok barang. "Kalau nggak begitu, kamu nggak akan bisa menjumpai komputer p4 (pentium IV -red.) dengan harga di bawah Rp 3 juta," ia menuturkan.

Setiap tahun, selama tiga atau empat kali, Bea Cukai akan menetapkan periode red light. Masih menurut sumber tersebut, periode ini merupakan operasi resmi bea cukai. "Pada masa ini, mereka sepakat dengan vendor dan pemasok untuk meng-hold (menahan -red.) barang sampai operasi tersebut berakhir, nanti mereka akan lanjutkan lagi seperti biasa," ia memaparkan.

Namun, sejak dua bulan terakhir, periode lampu merah ini tidak juga dihentikan. Akibatnya, banyak perangkat komputer yang terhambat di bea cukai.

Hal itu yang diperkirakan menyebabkan langkanya ketersediaan perangkat komputer tertentu di pasaran. Hal itu juga yang diperkirakan membuat kiriman bantuan perangkat dari luar negeri sulit masuk Indonesia.

Perangkat yang saat ini masih dibutuhkan oleh tim koneksi darurat di Aceh mencakup perangkat VSAT, HDSL dan perangkat untuk koneksi nirkabel. Selain itu tim juga membutuhkan generator listrik dan notebook.

Situs 'Penguasa' Internet Dibobol

Seperti dikutip detikINET dari The Register, Senin (30/6/2008), situs kedua lembaga itu dibajak pihak tak dikenal pada Jumat (27/6/2008). Selama kurang lebih 20 menit, situs kedua lembaga itu dialihkan ke situs lain yang menampilkan pesan berikut: "You think that you control the domains but you don't! Everybody knows wrong. We control the domains including ICANN! Don't you believe us?"

Zone-H.org, situs yang mencatat aksi deface di internet, menyebut aksi itu dilakukan oleh kelompok bernama 'NetDevilz'. Kelompok itu diduga berasal dari Turki.

Situs yang diserang termasuk icann.com, icann.net, iana.com dan iana-servers.com. Kelompok itu, menurut Zone-H, mengubah data DNS pada semua situs itu.

Tidak diketahui metode apa yang digunakan dalam aksi tersebut. Namun Zone-H berspekulasi mereka memanfaatkan metode cross-site scripting (XSS).

Internet Di Banda Aceh

Tiga bulan pasca tsunami di Aceh sangat sulit untuk mendapatkan akses internet. Kalo sekarang? mendapatkan akses internet dari satu kantor ke kantor lain di Banda Aceh bukanlah hal yang sulit.

Salah satu faktor penyebab internet berkembang dengan cepat di Banda Aceh karena banyaknya NGO asing.. Tau sendiri lah, kalo sebagian besar NGO asing tentunya terbiasa bekerja dengan email dan instant messenger.

Sekitar 3 hari yang lalu bersama dengan Anjar saya iseng-iseng melakukan scanning Wireless 2.4 GHz dengan menggunakan NetStumbler.

Coba lihat gambar dibawah ini:

Hotspot Banda Aceh

Itu baru sebagian kecil wilayah yang terdeteksi, kemungkinan besar hotspot ini akan bertambah banyak jika mendatangi lokasi kantor NGO asing. Bisa dibayangkan gak? Banda Aceh itu cuma kota kecil yang memiliki luas kurang lebih 61,36 km² namun saat ini banyak sekali hotspot yang saling berdekatan. Tentunya ini bisa menimbulkan masalah baru. Coba aja liat gambar diatas ada berapa channel yang sama?

Sepertinya pembebasan lisensi penggunaan radio pada frekwensi 2.4 GHz mengakibatkan siapapun dapat menggunakannya dan sering sekali disisi pengguna tidak menyadari bahwa channel pada frekwensi 2.4 GHz itu sangatlah terbatas. Akibatnya ya seperti terlihat pada gambar di atas itu. Salah satu contoh konkret yang saya dengar langsung yaitu BPDE sebagai salah satu lembaga pemerintahan di Banda Aceh yang mengelola internet pun mengeluh karena kecilnya signal point to point dari Pendopo ke Kantor BPDE, padahal jarak dari Pendopo ke Kantor BPDE kurang lebih hanya 4-6 km LOS (Line Of Sight).

Nah, kalo udah terlalu crowded begini sepertinya memang perlu ada sebuah komunitas pengguna 2.4 GHz di Banda Aceh. Perlu ada kesepakatan-kesepakatan penggunaan channel, daya pancar dan lain-lain. AirPutih bersama beberapa NGO lokal dan NGO asing membuat sebuah komunitas yang bertujuan untuk itu, namun memang belum semua NGO dapat bergabung dalam komunitas ini.

Kemerdekaan Indonesia

Soekarno membaca naskah Proklamasi yang sudah diketik Sajuti Melik dan telah ditandatangani Soekarno-Hatta

Latar belakang


























Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokiritu Junbi Choosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok


Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.


Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno Hatta yang diantar oleh Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga Status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelahmenyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalka berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, BM Diah, Sudiro (Mbah) dan Sajuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalim dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "tranfer of power". Bung Hatta, Subardjo, BM Diah, Sukarni, Sudiro dan Sayuti Melik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nisjijima masih didengungkan.

Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[2] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional dengan bingkai
Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional dengan bingkai[3]

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]


Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari otto iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

Isi Teks Proklamasi

Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta


Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.

Naskah Otentik

Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.


Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17, bulan 8, tahun 45
Wakil2 bangsa Indonesia.

Peringatan 17 Agustus 1945

Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang, lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara masing-masing.

Peringatan Detik-detik Proklamasi

Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara. Peringatan ini biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Pusaka), pembacaan naskah Proklamasi, dll. Pada sore hari terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.

Masa Setelah Kemerdekaan Indonesia

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1969 telah terdapat berbagai organisasi Buddhis yang merupakan organisasi sosial kemasyarakatan dan sekaligus melakukan pengembangan kualitas umat dan kualitas kehidupan beragama umat Buddha. Diantaranya adalah :

1. Gabungan Tridharma Indonesia (GTI)
Gabungan Tridharma Indonesia adalah merupakan penggabungan beberapa Sam Kauw Hwee. Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia bergabung dengan Thian Lie Hwee yang dipimpin oleh almarhum Ong Tiang Biauw (yang kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta) dan Gabungan Khong Kauw Hwee Indonesia (GAPAKSI). Bagian kebaktian dari Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial Candrayana) dan Buddha Tengger, membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GKSI) di bawah pimpinan The Boan An sebagai ketua pada tahun 1953. Setelah The Boan An di tasbihkan menjadi Bhikkhu pada tahun 1954 di Myanmar dengan nama Bhikkhu Jinarakkhita, ketua GKSI beralih kepada DRS. Khoe Soe Kiam (Drs. Sasana Surya). Pada tahun 1962, GKSI berganti nama menjadi Gabungan tridharma Indonesia (GTI).

2. Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDHI)
Beberapa tokoh umat Buddha dari suku Jawa, diantaranya Sosro Utomo dari Buddha Tengger, melihat bahwa sukar bagi orang Jawa untuk tetap bergabung dengan GTI. Oleh sebab itu untuk pertumbuhan umat disarankan membentuk organisasi baru yang memungkinkan orang Jawa menjadi anggotanya. Tahun 1967 dibentuk Persatuan Buddhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum pertamanya Sosro Utomo. Dalam kongres pertamanyatahun 1978 diganti namanya menjadi Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum Sariputra Sudono, dan kemudian berturut-turut sebagai ketua umum adalah Kolonel Soemantri M.S. dan Brigjen. Suraji A.A. Atas usaha Bhikkhu JInarakkhita Perbuddhi dengan cepat berkembang dan menyebar ke luar pulau Jawa. Sejak permulaan tahun 60-an kelihatan ketidak-serasian antara Bhikkhu Jinarakkhita dan Perbudhi dengan GTI, yang pada akhirnya berakibat GTI melarang anggotanya menjadi anggota Perbudhi.

3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUSBI)
Dalam tubuh Perbudhi terdapat kelompok Upasaka dan Upasika yang merupakan kelompok elit dalam Perbudhi. Kelompok ini harus menjadi anggota perbudhi dan terikat dalam persaudaraan yang disebut Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang dibentuk pada tahun 1956 oleh Bhikkhu Jinarakkhita dan merupakan pembantu Sangha dan bertanggung jawab kepada Sangha Suci Indonesia pimpinan Bhikkhu Jinarakkhita. Beberapa anggota Perbudhi dari Yogya dan Jawa Tengah menentang adanya kelompok ini. Mereka berpendapat bahwa roda organisasi Perbudhi tidak dapat berjalan dengan baik karena Upasaka-Upasika ini tidak tunduk kepada keputusan kongres, tetapi kepada Sangha. Sedangkan pihak lainnya memandang perlu adanya PUUI. Tahun 1962 mereka yang menolak PUUI menyatakan keluar dari Perbudhi dan membentuk Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUSBI) dibawah pimpinan Drs. Soeharto Djojosumpeno dari Yogya, yang terakhir menjabat sebagai staf pada Lemhanas.

4. Buddhis Indonesia
Tahun 1965 Perbudhi cabang Semarang melepaskan diri dari Perbudhi dan membentuk Buddhis Indonesia yang bermarkas di Vihara Tanah Putih Semarang. Buddhis Indonesia mendapat dukungan dari berbagai cabang Perbudhi di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menyatakan diri menjadi cabang Buddhis Indonesia. Awal perpecahan ini adalah ketidak-serasian dan masalah pribadi antara tokoh-tokoh Busshid di Semarang dan Jawa Tengah dengan tokoh sentral umat Buddha, tetapi sebagai alasan untuk keluar dari Perbudhi adalah keikut-sertaan Perbudhi dalam Konferensi World Buddhists of Fellowship (WFB) di Bangkok yang hadir pula utusan dari Malaysia. Pada waktu itu Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.

Pada bulan Juli 1965 diadakan pertemuan antar organisasi-organisasi Buddhis yang ada untuk membuat landasan kerukunan dan kerjasana. Pertemuan ini dilanjutkan lagi pada bulan Agustus 1966 dan Oktober 1966. Pada pertemuan mereka bulan Februari 1967 berhasil dibentuk Federasi Umat Buddha Indonesia yang anggotanya adalah :

1. Buddhis Indonesia
2. Gabungan Tridharma Indonesia
3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia
4. Agama Hindu-Buddha Tengger
5. Agama Buddha Wisnu Indonesia

Perbudhi tidak mau bergabung dengan Federasi Umat Buddha Indonesia karena diantara anggota Federasi Umat Buddha Indonesia ini ada yang telah mengeluarkan pernyataan bersama yang merugikan Sangha Suci Indonesia dan Perbudhi. Dalam Maha Samaya II (kongres PUUI) yang diselenggarakan 16-18 Maret 1969 di Bandung, yang dihadiri pula oleh Perbudhi dan Maha Sangha Indonesia, dibentuk Majelis Tertinggi Seluruh Umat Buddha Indonesia yang berfungsi menetapkan kebijaksanaan dalam keagamaan dan bertanggung jawab kepada Maha Sangha Indonesia. Pimpinan majelis ini adalah Bhikkhu Girirakkhito (ketua umum) dan Brigjen Suraji Aryakertawijaya (sekjen).

Pada tahun 1959 oleh Bhikkhu Jinarakkhita dibentuk Sangha Indonesia yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu dan samanera yang ditasbihkan menurut mazhab Theravada. Kemudian Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Suci Indonesia dan pada tahun 1968 diubah lagi menjadi Maha Sangha Indonesia yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu Theravada dan Mahayana.

Perpecahan dan perselisihan diantara umat Buddha sampai tahun 1969 pada umumnya didasarkan pada perselisihan pribadi. Perpecahan diantara para bhikkhu dalam Maha Sangha Indonesia diwarnai dengan adanya perbedaan dalam pemahaman Vinaya dan Dharma.

Beberapa bhikkhu Theravada menghendaki para bhikkhu tidak campur tangan mengenai perpecahan ini dan berdiri sendiri sebagai panutan. Karena usaha ini tidak berhasil, maka para bhikkhu tersebut keluar dari Maha Sangha Indonesia ada membentuk Sangha Indonesia pada tanggal 12 Januari 1972.

Sangha Indonesia mendapat dukungan dari organisasi-organisai yang terhimpun dalam Federasi Umat Buddha Indonesia dan dari organisasi lain seperti Perbudhi dan Persaudaraan Umat BUddha Salatiga. Dukungan PErbudhi terhadap Sangha Indonesia dan menyatakan sebagai Pengayom Perbudhi disamping Maha Sangha Indonesia telah menyebabkan PUUI, yang namanya telah diganti menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) menyatakan keluar dari Perbudhi.

Untuk mencegah perpecahan supaya tidak meluas, atas prakarsa Brigjen Saparjo, dilakukan pertemuan untuk mengadakan musyawarah. Setelah beberapa kali pertemuan, pada tanggal 26 Mei 1972 dibuat ikrar di Candi Borobudur untuk membentuk wadah tunggal umat Buddha Indonesia. Ikrar tersebut ditanda-tangani oleh:

1.Suryaputta Ks Suratin (Buddhis Indonesia)
2.Brigjen Sumantri MS (MUABI)
3.Brigjen Suraji Ariya kertawijaya (Perbudhi)
4.Djoeri (MUSBI)
5.Drs. Sasana Surya (GTI)
6.Soepangat Prawirokoesoemo SH (Persaudaraan Umat Buddha Salatiga)

Wadah tunggal itu merupakan peleburan semua organisasi Buddhis dan bernama Buddha Dharma Indonesia disingkat BUDHI. Disamping itu juga dibentuk Majelis Buddha Dharma Indonesia yang anggotanya terdiri dari para pemuka agama Buddha dan cendikiawan Buddhis dari berbagai sekte. Majelis ini berfungsi menetapkan kebijaksanaan keagamaan.

Pada tanggal 14 Januari 1974, atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu-Buddha, diadakan pertemuan antara Sangha Indonesia dan Maha Sangha Indonesia. Dalam peretemua itu, disepakati untuk melebur Sangha Indonesia dan Maha Sangha Indonesia menjadi Sangha Agung Indonesia dan setiap bhikkhu akan melaksanakan Vinaya berdasarkan sekte masing-masing. Terpilih sebagai ketua adalah MNS Jinarakkhita dan wakilnya Bhikkhu Jinapiya Thera.

Akan tetapi, pertemuan selanjutnya untuk menetapkan antara lain struktur dan fungsi organisasi Sangha Agung Indonesia tidak pernah dpat dilaksanakan. Konsensus yang dibuat pada tanggal 14 Januari tersebut tidak dapat diwujudkan.

Sebegitu jauh kerukunan, persatuan dan kesatuan masih belum dapat diwujudkan, sedangkan pertentangan antar organisasi makin meningkat, atas dasar Dirjen Bimas Hindu-Buddha dilakukan pertemuan pimpinan organisasi Buddhis dan para pemuka agama Buddha pada tahun 1976 di Jakarta. Dalam pertemuan itu disadari bahwa organisasi Buddhis mempunyai dua bentuk kegiatan, yaitu : aspek sosial kemasyarakatan dan aspek pembinaan kehidupan keagamaan yang dilakukan oleh para rohaniawan dari sekte yang bersangkutan. Dalam keadaan yang demikian sukarlah untuk terbentuk satu wadah tunggal bagi umat Buddha karena masing-masing sekte mempunyai tradisi dan upacara keagamaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu kedua aspek kegiatan organisasi Buddhis yang ada dipisahkan dan masing-masing dihimpun dalam wadah tunggal.

Aspek sosial kemasyarakatan dihimpun dalam wadah tunggal non sektarial yang dinamakan Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) dibawah pimpinan R. Eko Sasongko Pratomo SH (ketua) dan Drs. Aggi Tjetje (sekjen). Aspek kerohanian menjadi Majelis Agama yang mewakili sekte agama Buddha yang ada. Bidang kerohanian BUDHI tumbuh menjadi Majelis Pandita Buddha Dharma Indonesia ( MAPANBUDHI). Dari kelompok Tridharma, dinamakan Majelis Rohaniawan Tridharma se Indonesia ( Martrisia). Kemudian dalam pertemuan berikutnya, dibentuk Majelis Agung Agama Buddha Indonesia MABI yang berbebtuk federasi.

MUABI kemudian mengundurkan diri dari MABI. MUABI pecahannya menjadi Lembaga Dharmaduta Kasogatan Indonesia yang akhirnya menjadi Majelis Dharmaduta Kasogatan Tantrayana Indonesia, yang di pimpin oleh alm Giriputta Sumarsono dan kemudian Drs. Oka Diputhera. MUABI kemudian diganti menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).

Bhikkhu-bhikkhu Theravada yang terhimpun dalam Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan bersama-sama dengan bhikkhu-bhikkhu Theravada yang baru pulang dari belajar diluar negri, membentuk Sangha Theravada Indonesia. Demikian pula dengan Bhikkhu Mahayana yang ada di Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan kemudian membentuk Sangha Mahayana Indonesia. Dengan demikian di Indonesia terdapat tiga Sangha : Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana Indonesia.

Lebih lanjut, Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara mengadakan pertemuan dengan pimpinan semua majelis dan sangha yang ada di Indonesia. Dalam pertemuan ini semua majelis ada sangha menyatakan semua sekte agama Buddha yang ada, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebutan yang berbeda-beda. Dalam pertemuan ini dibentuk Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) yang mewakili umat Buddha pada tahun 1978. Nama Perwalian Umat Buddha Indonesia di berikan oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara.

Arti Kemerdekaan Indonesia,…

Bagi anak muda Indonesia, mungkin termasuk Anda baik ketika sekolah, kuliah, atau bahkan dalam dunia kerja, sebuah kata ‘Independence Anniversary’ atau kata umumnya ulang tahun kemerdekaan Indonesia, yang biasanya dilakukan dengan upacara bendera di sekolah. Lalu menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus mendatang, apakah benar kita telah kehilangan arti penting sesungguhnya dari kemerdekaan? Banyak pertanyaan yang harus dijawab, namun kita terkadang tidak ada waktu untuk menjawabnya, sedangkan di negara lain justru semakin melakukan improvisasi untuk kemajuan negaranya.

Tengok saja kompetisi Olimpic di Beijing, bagaimana hebatnya mereka membuat pembukaan yang begitu menakjubkan, dan membuat sebuah perayaan menjadi begitu penting di mata rakyatnya. Cina saja bisa begitu menghargai sebuah acara besar, dan mampu menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah negara yang besar, tentunya dengan teknologi yang sangat berkembang.

Lalau bagaimana dengan bangsa Indonesia sekarang ini? Apakah benar kita sudah benar-benar merdeka?

Meskipun usia bangsa Indonesia semakin bertambah, terutama di usia ke-63 tahun ini, bangsa Indonesia masih harus banyak berjuang keras. Untuk itu, seharusnya generasi muda tidak boleh hanya berdiam diri, apalagi melihat kondisi di Indonesia yang semakin memprihatinkan. Untuk itu, kita sebagai warga Negara Indonesia, dalam peringatan hari kemerdekaan Ri ke-63 ini sudah saatnya ikut berperan dalam segala ruang, termasuk politik, keamanan, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, demi memperbaiki kondisi Negara Indonesia tercinta. Maka kita pun bisa melakukannya jauh lebih baik, walaupun mungkin tidak sekarang, mungkin di masa depan, suatu saat nanti.
Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Hidup dalam cengkaraman penjajah yang selalu bertindak sewenang-wenang; merampas hak-hak, mencaplok tanah, mempekerjakan secara paksa tanpa imbalan, selain cemeti yang tak henti-henti mendera tubuh yang hanya dibalut kain seadanya, bila ada seseorang yang berbicara menuntut hak-haknya, tak jarang disumbat dengan berbagai senjata, hingga ia diam seribu bahasa.
Cuplikan salah satu sudut kehidupan bangsa Indonesia yang terjajah, sebelum 61 tahun yang silam, mungkin tidak terbayangkan oleh generasi belakangan yang hanya mengeyam nikmatnya hidup di alam kemerdekaan, akibat dari terlupakannya kepedihan hidup di bawah kangkangan penjajah, hilangnya rasa syukur. Oleh karena itu Allah mengingatkan para shahabat akan nikmat kemenangan di perang Badr, yang sebelumnya mereka dalam kehinaan dan lemah, Allah SWT berfirman:

"Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badr, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya" (Ali Imran: 123)
Allah ingatkan para shahabat akan kepedihan hidup mereka sebelum kemenangan agar bisa mensyukurinya.
Untuk mengingatkan generasi ini, saya kira, kita tidak perlu harus memaksa mereka untuk menonton film-film tentang penjajahan Belanda di bioskop dengan dipungut bayaran. Cukup diingatkan mereka akan kepedihan teman-teman sebaya mereka anak-anak terjajah di Irak dan Palestina, setiap hari mereka saksikan hidup bergelimang kesengsaraan, menghadapi kebengisan dan kekejaman penjajah yang hanya mau menyapa mereka dengan senjata penghancur dan alat-alat berat yang setiap saat siap meruntuhkan rumah tempat mereka bernaung, dan tak jarang mereka bersimbah air mata dipaksa berpisah dengan orang tuanya, tak tahu entah kapan mereka akan saling bersua -semoga Allah mempertemukan mereka di dalam surga-Nya-.

Cara mensyukuri nikmat kemerdekaan:

A. Mensyukuri dengan kalbu: dalam bentuk pengakuan bahwa nikmat kemerdekaan semata-mata berasal dari Allah. Dan perwujudan dari bentuk syukur ini para pendiri bangsa telah menggoreskan pena mereka dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 45: "Dengan rahmat Allah Yang Maha Esa…".
Bila ini diingkari tidak menutup kemungkinan, Allah akan mencabut nikmat-Nya dan menggantinya dengan niqmah (azab). Seperti yang terjadi pada kaum kafir Quraisy yang mengganti nikmat Allah (Muhammad shallahu alaihi wasallam) dengan mendustakannya, Allah berfirman: "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan" (QS. Ibrahim:28)

B. Mensyukuri dengan lisan: Dalam bentuk bertahmid dan bertahlil kepada-Nya, serta berterima kasih dan menyebut jasa baik para pahlawan, juga tak lupa mendoakan mereka, semoga amalnya diterima Allah. Menyebut jasa baik tersebut juga bagian dari syukur kepada Allah, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam: "Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah"

(HR.Abu Daud, dishahihkan oleh Ahmad Syakir).

C. Mensyukuri dengan perbuatan dalam bentuk:

1. Sujud syukur saat nikmat kemerdekaan itu tiba, ini saya kira, telah dilakukan oleh para pendahulu kita. Setiap kita memperoleh nikmat dianjurkan langsung bersujud, berdasarkan hadits Abu Bakrah, dia berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bila datang kepadanya kabar gembira atau diberitakan, beliau serta-merta bersujud dalam rangka bersyukur kepada Allah". (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Bani).
Saya pernah membaca sebuah majalah yang memuat tentang sekelompok orang yang pada jam:00 wib. pada malam 17 Agusutus, setelah mereka menaikkan bendera merah putih, mereka bersujud kearah tiang bendera.
Perbuatan ini bertentangan dengan makna syukur; karena sujud adalah puncak ibadah yang hanya boleh dilakukan kepada Allah semata. Tidak kepada bendera dan selainnya, perbuatan ini dapat membatalkan keislaman seseorang –na'udzubillah-. Jika niatnya adalah sujud syukur, itu hanya dilakukan pada jam.10 pagi wib. Tanggal 17 Agustus 1945 saja, saat berita proklamasi dikumandangkan. Setelah itu tidak disyariatkan lagi, karena kalau masih disyariatkan tentulah kita setiap waktu harus bersujud, karena nikmat kemerdekaan sampai saat ini tidak terputus dari kita, dan ini tidak mungkin kita lakukan.

2. Mengisi nikmat kemerdekaan dengan amalan yang disyariatkan Allah menuju ridha-Nya, dalam berbangsa dan bernegara.

Ada beberapa perbuatan yang sering kita saksikan di setiap bulan Agustus yang bertentangan dengan makna syukur, diantaranya; lomba goyang yang diiringi musik antara dua orang yang berlawanan jenis kedua kening mereka dirapatkan dan tengahnya diletakkan bola kecil, puncak peringatan agustusan dengan diringi musik dan tidak jarang disaat itu minuman memabukkan berkeliaran dari satu tangan ke tangan yang lain. -Naudzubillah- orang mensyukuri nikmat Allah dengan berbuat maksiat kepada-Nya. Perumpamaan mereka tak ubahnya seperti kaum yang disinyalir Allah dalam firman-Nya,

Katakanlah : "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan dengan suara yang lembut, dengan mengatakan : "Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari bencana ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur". Katakanlah : "Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan kemudian kamu kembali mempersekutukannya"

(QS. Al An'aam: 63-64):

Buah mensyukuri nikmat kemerdekaan :

A. Allah akan menambah nikmat tersebut.

Allah berfirman dalam surat QS Ibrahim : 7, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

B. Nikmat syukur itu akan kembali kepada orang yang mensyukurinya.

Allah berfirman dalam surat QS Luqman : 12, "Dan barangsiapa siapa yang bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"

C. Allah tidak menurunkan siksanya kepada orang yang bersyukur.

Allah berfirman dalam surat QS An Nisaa : 147,
"Allah tidak akan menurunkan azab-Nya kepadamu, jika kamu bersyukur dan beriman". Akhirnya mari kita berdoa semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang bersyukur:

اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.

“Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk menyebut nama-Mu, mensyukuri-Mu dan ibadah yang baik kepada-Mu".



Budaya Aceh


Nanggroe Aceh Darussalam

Moto: "Pancacita"
(Sanskrit): "Lima Cita-Cita”

Bendera Nanggroe Aceh Darussalam
Imej:Lokasi_Aceh.png
Hari Bersatu: 7 Desember 1959
Ibu kota: Banda Aceh (Dahulu Kutaradja)
Gabenor: Drg. Irwandi Yusuf
Timbalan Gabenor: Muhammad Nazar, S.ag
Wilayah
- Jumlah:

55,390 km²
Daerah Tingkat II
- Jumlah:

17 Kabupaten dan 4 Kota
Penduduk
- Jumlah:
- Kepadatan:

~ 4,500,000
80/km²
Suku bangsa: Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue dll.
Agama: Islam
Bahasa: Bahasa Melayu, Bahasa Aceh, Bahasa Indonesia, Gayo, Alas, Aneuk Jamee dll.
Zon Waktu: WIB / UTC +7
Lagu Kedaerahan: Bungong Jeumpa, Bungong Seulanga, dll…


Aceh adalah sebuah Daerah Istimewa di penghujung Pulau Sumatera. Aceh terletak di barat laut Sumatera dengan kawasan seluas 57,365.57 km per segi atau merangkumi 12.26% pulau Sumatera. Aceh memiliki 119 buah pulau, 73 sungai yang besar dan 2 buah tasik, Tasik Laut Tawar di Takengon, Aceh Tengah dan Tasik Aneuk Laot di Kota Sabang. Aceh dikelilingi oleh Selat Melaka di sebelah utaranya , Provinsi Sumatera Utara di timur dan Lautan Hindi di sebelah selatan dan baratnya . Ibu kota Aceh adalah Banda Aceh yang dahulunya dikenali sebagai 'Kutaradja'.

Sejarah

Rencana utama: Sejarah Aceh

Pedagang Cina pada awal kurun ke -6 Masihi telah menyatakan mengenai kewujudan sebuah kerajaan di bahagian hujung utara Pulau Sumatera yang mereka gelar sebagai Po-Li. Naskhah Arab dan India kurun ke-9 juga telah mengatakan perkara yang sama. Menurut kawasan-kawasan sekitar [ Indonesia] yang lain, Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan diplomatik dengan dunia luar.

Aceh memiliki sejarahnya yang tersendiri. Aceh memainkan peranan penting dalam perubahan yang dialami di daerah ini sejak didirikan.

Marco Polo pada tahun 1292 semasa dalam pelayaran ke Parsi dari China telah singgah ke Sumatera. Beliau mendakwa terdapat enam pelabuhan yang sibuk di bahagian utara pulau tersebut termasuklah perlabuhan Perlak, Samudera dan Lamuri.

Kerajaan Islam pertama yang dibina di Aceh adalah Kerajaan Perlak pada tahun 840 Masihi (225 Hijrah). Sultan pertama Kerajaan Perlak yang dipilih ialah Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah (kacukan Arab Quraisy dengan puteri Meurah Perlak) dan digelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah. Kerajaan ini berdiri sekitar 40 tahun selepas Islam tiba di Bandar Perlak yang dibawa oleh saudagar dari Teluk Kambey(Gujarat) pimpinan Nakhoda Khalifah. Kerajaan kemudiannya dikenali sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Penguasaan pelabuhan di Melaka oleh Portugis pada tahun 1511 telah menyebabkan banyak pedagang Arab dan India memindahkan perdagangan mereka ke Aceh. Kedatangan mereka membawa kekayaan dan kemakmuran kepada Aceh, dan menandakan mulanya penguasaan Aceh dalam biang perdagangan dan politik di utara Pulau Sumatera. Keadaan ini bertahan hingga ia mencapai kegemilangannya antara tahun 1610 dan 1640.

Kejatuhan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641 disebabkan oleh penguasaan perdagangan oleh Inggeris dan Belanda. Hal ini juga menyebabkan mereka berlumba-lumba menguasai banyak kawasan di Nusantara untuk kegiatan perdagangan mereka. Perjanjian London 1824 yang ditandatangani pada tahun 1824 telah memberi mandat kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British di Sumatera sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan bertelingkah dengan British/Inggeris untuk menguasai Singapura.

Belanda mendapati lebih sukar untuk melawan Aceh dari apa yang mereka sangkakan. Perang Aceh, yang berlansung pada tahun 1873 hingga 1942 (tetapi tidak berlanjut-lanjut), merupakan sebuah peperangan paling lama dihadapi oleh Belanda dan meragut lebih 10,000 orang tentera mereka.


Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kian rancak menuntut kemerdekaan Aceh selepas pelucutan Daerah Kegiatan Tentera (Daerah Operasi Militer (DOM)) atau sering dikenali sebagai Kegiatan jaringan Merah (Operasi Jaring Merah) pada 7 Ogos 1998 yang sudah berlangsung selama 10 Tahun sejak 1989. Selain itu, muncul juga tuntutan pungutan suara sebagai mekanisme rasa kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah Jakarta. Tuntutan itu disuarakan oleh para intelektual muda Aceh yang menyertai Organisasi Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berjaya merealisasikan keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka sendiri. Misalnya satu perhimpunan raksasa yang dianjurkan oleh SIRA pada 8 November 1999 yang dihadiri oleh 2 Juta rakyat Aceh dari berbagai-bagai kabupaten di Aceh. SIRA yang dipimpin oleh Muhammad Nazar berjaya menyunting semangat perjuangan rakyat Aceh untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.

Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka sendiri semakin rancak dengan penubuhan berbagai-bagai pertubuhan di Aceh, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAMdengan mengemukakan pelbagai jenis isu. HANTAM misalnya, dengan mengemukakan isu Antitentera berjaya membuahkan hasil pada tahun 2002 kerana dalam menuntut gencatan senjata antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM juga bertindak memperkenalkan empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB. Rusuhanyag berlansung pada 6 Mei 2002 itu berakhir dengan penangkapan semua pengikut HANTAM seperti Taufik Al Mubarak, Muhammmad MTA, Asmara, Askalani, Imam, Habibir, Ihsan, dan beberapa orang lagi. rusuhan itu secara tidak langsung memberikan maksud bahawa campur tangan PBB untuk adalah untuk menjadi perantaraan dalam konflik di Aceh tidak dapat dinafikan lagi.

Sultan Aceh

Ibu kota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa.

Aceh merupakan kawasan yang paling teruk dilanda gempa bumi 26 Disember 2004. Beberapa tempat di persisiran pantai dilaporkan musnah sama sekali. Malah Banda Aceh turut hampir musnah dilanda tsunami.

Aceh mempunyai khazanah sumber bumi seperti minyak dan gas asli.

Penduduk

Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku kaum dan bangsa. Bentuk fizikal mereka menunjukkan ciri-ciri orang Nusantara, Cina, Eropah dan India. Leluhur orang Aceh dikatakan telah datang dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin China dan Kemboja. Kumpulan-kumpulan etnik yang terdapat di Aceh adalah orang Aceh yang terdapat di merata Aceh, orang Gayo di Aceh Tengah, sebahagian Aceh Timur, Bener Meriah dan Gayo Lues, orang Alas di Aceh Tenggara, orang Tamiang di Aceh Tamiang, Aneuk Jamee di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, orang Kluet di Aceh Selatan dan orang Simeulue di Pulau Simeulue. Aceh juga mempunyai bilangan keturunan Arab yang tinggi. Sebuah suku bangsa berketurunan Eropah juga terdapat di Kecamatan Jaya, Aceh Jaya. Mereka beragama Islam dan dipercayai adalah dari keturunan askar-askar Portugis yang telah memeluk agama Islam. Pada amnya, mereka mengamalkan budaya Aceh dan hanya boleh bertutur dalam bahasa Aceh dan bahasa Indonesia.

Gabenor


Berbicara tentang budaya Aceh takkan pernah habis dan tak pernah
selesai sampai kapan pun. Topik yang satu ini menarik dibicarakan,
terutama karena budaya itu sendiri sesungguhnya merupakan segala hal
yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Jadi, selama
manusia itu ada, selama itu pula persoalan budaya akan terus
dibicarakan. Demikian pula halnya dengan budaya Aceh.

Kehilangan demi kehilangan yang menimpa orang Aceh sebenarnya telah
membuat banyak perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakatnya.
Perubahan itu ada yang bersifat positif, tentu pula tidak sedikit yang
bersifat negatif. Perubahan positif akan kita catat dalam sejarah
peradaban Aceh sebagai suatu prestasi atau perkembangan, sedangkan yang
bersifat negatif marilah sama-sama kita cegah jauh-jauh hari sebelum
terlambat. Baik positif maupun negatif, pembicaraan budaya di Aceh ini
dibatasi pascakonflik dan tsunami.

Perubahan positif antara lain, lahirnya penulis-penulis baru dan
munculnya penyanyi-penyanyi baru di Aceh. Hal ini terbukti dari
banyaknya buku yang ditulis oleh orang Aceh mengisahkan konflik dan
tsunami. Begitu pula nyanyi Aceh, sangat beragam nyanyi Aceh yang
beredar di toko-toko kaset saat ini. Intinya, jika kita ingin mendengar
lagu Aceh, kita sudah dapat memilih beberapa kaset atau CD yang beredar
di pasaran dan tidak susah mencarinya. Andai tidak cukup duit untuk
membeli CD-CD itu, kita dapat memutar beberapa gelombang radio yang
dengan rutin pula memutar lagu-lagu Aceh.

Fenomena ini menunjukkan bahwa konflik dan tsunami telah membawa banyak
ilham pada generasi muda Aceh untuk mengimplementasikan kebudayaannya.
Dengan demikian, budaya Aceh saat ini dapat dilihat, ditemukan, atau
dinikmati oleh siapa pun yang berminat di berbagai tempat dan media.

Mencermati permasalahan di atas, ada beberapa perubahan dalam
masyarakat kita saat ini. Perubahan tersebut terdapat pada pandangan
masyarakat Aceh terhadap petuah atau kebiasaan-kebiasaan yang telah
turun-temurun berlaku dalam masyarakat. Petuah atau kebiasaan yang
dinamakan adat-istiadat (kebudayaan) itu kini mulai dikesampingkan oleh
generasi muda kita dalam karya-karyanya. Masalah yang kedua ini penulis
namakan perubahan negatif yang terjadi pascakonflik dan tsunami.

Sehubungan dengan itu marilah kita cermati bagaimana ssungguhnya budaya
Aceh. Budaya yang dijalani oleh masyarakat Aceh adalah budaya yang
islami. Artinya kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Aceh
tidak bertentangan dengan ajaran islam. Budaya yang islami ini kita
harapkan dapat tercermin dalam semua laku dan kehidupan orang Aceh,
tidak terkecuali dalam buku-buku yang ditulis oleh generasi muda Aceh
terkini dan CD-CD Aceh yang sedang marak-maraknya dijual di pasaran.
Dengan demikian, jika anak cucu kita kelak atau orang lain membaca atau
menonton VCD-VCD Aceh, mereka sekaligus dapat menatap, menikmati, dan
melestarikan kebudayaan itu dalam kehidupannya. Artinya, dalam menulis
apa saja yang berlatar belakang keacehan, penulis itu haruslah
mengedepankan persoalan yang satu ini. Begitu pula bagi yang terlibat
dalam pembuatan VCD-VCD Aceh, baik penyanyi, maupun model-model
(bintang) yang dipertontonkan dalam VCD itu, hendaknya memperhatian
nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Hal ini perlu
kita ingatkan bersama oleh karena media ini (VCD) merupakan salah satu
media yang sangat ampuh dalam menyampaikan pesan-pesan kebudayaan.

Pesan budaya yang ada dalam VCD tidak hanya dapat didengar, tetapi
dapat pula disaksikan dengan mata kepala seseorang baik yang berasal
dari Nanggroe Aceh Darussalam, maupun yang berasal dari luar. Dengan
menonton VCD yang bernuansa keacehan, secara tidak langsung orang itu
sudah melihat kebudayaan Aceh yang sesungguhnya. Singkatnya, VCD aceh
dapat menjadi cerminan kehidupan masyarakat Aceh. Oleh karena VCD-VCD
itu sesungguhnya merupakan miniatur kehidupan sosial masyarakat Aceh.

Sebagai sebuah miniatur kehidupan masyarakat Aceh, VCD Aceh hendaknya
dapat menggambarkan kehidupan masyarakat Aceh yang alamiah dan islami.
Kalau kita tidak memperhatikan kedua hal itu (alamiah dan islami) orang
yang menonton VCD aceh akan mengira orang Aceh itu munafik. Munafik
yang dimaksud adalah lain yang dielu-elukan di mulut, lain pula yang
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Kenyataan ini tertera hampir pada semua sampul VCD aceh saat ini,
perempuan yang menjadi model pada sampul CD tersebut sangat banyak yang
tidak memakai jilbab. Ironisnya lagi dara-dara Aceh yang cantik, mulus,
dan berhidung mancung itu memakai celana jeans dan bertopi. Busana yang
mereka pakai lagaknya busana bintang-bintang film luar negeri saja.
Belum lagi dalam VCD aceh itu ditayangkan pula laki-laki yang memakai
anting. Sungguh suatu hal yang tidak dapat ditolerir dan tak dapat
dibiarkan oleh pihak-pihak pemangku adat di Aceh jika kita tidak ingin
adat Aceh itu menjadi hancur.

Dua permasalahan berpakaian di Aceh yang tercermin dalam sampul CD dan
VCD aceh itu, jika dibiarkan terus-menerus tanpa ada badan atau pihak
yang mengontrol, penulis yakin suatu ketika adat Aceh yang selama ini
kita anuti akan hilang bersamaan dengan melajunya globalisasi di Aceh.
Permasalahan ini tidak besar memang jika dipandang oleh orang lain yang
tak memahami palsafah hidup orang Aceh. Namun, tidak demikian halnya
bagi orang-orang yang mengetahui dalam dirinya mengalir darah para
syuhada Aceh. Permasalahan berbusana ini merupakan suatu persoalan adat
tak tertulis yang sudah diatur jauh sebelum diterapkannya syariat Islam
di Aceh dan bagi yang melanggar sesungguhnya akan mendapat hukuman tak
tertulis pula dari masyarakat.

Masalah adat berbusana di Aceh merupakan pembicaraan sangat urgen dalam
deretan khasanah kebudayaan lainnya. Sebab, di NAD jauh sebelum
berlakunya syariat Islam sebenarnya kebiasaan-kebiasaan berpakaian itu
sudah ada ketentuannya, yakni sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini
terjadi karena adat-istiadat di NAD tidak bertentangan dengan agama,
bahkan disebutkan adat dan agama itu tak ubahnya seperti zat dan sifat,
tidak dapat dipisahkan.

Lalu bagaimanakah idealnya busana aceh? Busana aceh itu definisinya
sangat sederhana, yakni busana/ pakaian yang menutup aurat. Di Aceh,
pakaian laki-laki dan perempuan jelas ada perbedaannya. Perempuan
mengenakan rok, baju agak longgar, dan memakai tutup kepala “kini
dikenal dengan jilbab’, sedangkan asesorisnya biasanya perempuan Aceh
memakai cincin emas, gelang tangan emas, kalung emas, anting emas, dan
jam tangan. Adapun laki-laki, mengenakan celana panjang, baju kemeja,
baju kaos oblong, kopiah/ topi dengan asesoris paling-paling jam tangan.

Pengelompokan busana Aceh yang telah penulis deskripsikan di atas
memperlihatkan pada kita betapa mudah dan indahnya aturan berbusana di
Aceh, sehingga kecil sekali kemungkinannya orang Aceh akan salah
memilih busana. Jika ada orang yang keliru memilih busana, misalnya
topi/ kopiah dipakai oleh anak perempuan, atau anting dipakai oleh anak
laki-laki, orang itu disebut tidak waras. Sebab hanya orang yang sudah
tidak waras yang mau memakai pakaian yang bukan pakaiannya. Misalnya
anting atau keurabu bahasa Aceh, asesoris itu siapa pun yang mengakui
dirinya orang Aceh, dari zaman dahulu hingga sebelum tsunami
menghancurkan NAD tidak pernah menempel pada telinga seorang laki-laki
‘aneuk agam’. Kalau juga hal itu terdapat pada seorang anak Aceh yang
lahir, hidup, dan tinggal di Aceh, anak laki-laki yang memakai anting
itu disebut pungoe. Seandainya anak tersebut masih memiliki orang tua,
orang tuanyalah yang dikatakan tidak tahu mengajar anak, atau anak yang
demikian dikatakan tak tahu adat dan dia serta seluruh keluarganya akan
dikucilkan dalam masyarakat.

Namun, apa yang sedang berlaku saat ini, dara-dara Aceh yang ceudah
jeulita ‘cantik menawan’ menari-nari tanpa busana muslim. Mereka tidak
memakai rok layaknya perempuan-perempuan Aceh. Mereka juga tidak
memakai baju longgar, melainkan sebaliknya, dan mereka juga tidak
menutup kepalanya dengan jilbab atau ija top ulee, tetapi menutupnya
dengan topi ala Eropa. Di dalam tayangan VCD itu kita juga dapat
melihat ureung agam memakai anting dengan rambut model bintang film
luar negeri. Inikah kebudayaan Aceh pascakonflik dan tsunami?
Masyaallah!
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengetuk pintu hati
petinggi-petinggi NAD yang berwenang mengayomi dan melindungi
adat-istidat Aceh. Sebaiknya dapat dimanfaatkan badan yang salama ini
mengurus adat-istiadat atau paling tidak ditunjuk sebuah tim yang
khusus menyensor VCD aceh. Tim sensor ini yang akan menilai apakah
tanyangan VCD itu bertentangan dengan adat-istiadat Aceh atau tidak.
Seterusnya tim ini pula yang akan merekom dapat atau tidaknya VCD
tersebut dijual. Matee aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat tamita?